RUTENG, Komodoindonesiapost.com – Thomas Gagi, (71) adalah salah satu dari ratusan petani di kampung Maras, Desa Belang Turi, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores – NTT, pada Sabtu (16/12/23) sore, merasa senang ketika mendengar dentuman bunyi guntur menggelegar dari balik awan yang gelap. Thomas buru buru mengambil skop dan parang miliknya yang masih tersimpan rapi di sudut dapurnya yang sudah reot. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju sawah yang jaraknya 500 meter dari rumah nya. Sawah yang enam bulan lalu ia lepaskan karena kemarau yang panjang.
Meski sudah tua, Thomas harus tegar bekerja demi menafkahi keluarganya.
Sawah milik Thomas yang luasnya hanya 1/6 Ha tidak mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Sawah itu ia kerjakan satu kali dalam setahun. Menunggu musim hujan. Karena itu, ia mesti mencari jalan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Thomas adalah salah satu petani yang terus meratapi nasibnya karena harus bergantung pada hujan. Kalau tidak turun hujan, sawah tidak bisa dibajak.
Kata dia, akhir akhir ini sangat jarang turun hujan. Kalaupun hujan, intensitasnya sangat rendah.
Saat panen pada bulan Mei lalu, Thomas hanya mendapatkan 5 karung gabah (sekitar 500 Kg). Hal itu karena penyakit (Hama Wereng) yang melanda bahkan hampir semua padi milik petani di kampung itu. Ditambah perubahan iklim.
“Untuk bisa menanam padi, kami harus menunggu hujan datang, namun hujan juga tidak kunjung datang,” keluh Thomas.
Bendungan Utama Rusak, Tidak Dibangun Kembali

Bendungan Wae Rajong adalah bendungan utama yang mengairi sawah seluas 300 an hektare milik 600 an petani di kampung Maras itu.
Bendungan ini terakhir kali dibangun pada tahun 2007 lalu menggunakan dana APBD. Namun, tidak berselang lama, bendungan ini rusak, hingga hari ini tidak dibangun.
600 an petani di sana harus menunggu hujan untuk mengairi sawah sawah mereka. Ada warga yang berani mengambil resiko, mengerjakan sawahnya dimusim kemarau, mengandalkan mesin sedot, mereka (petani) harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Bahkan beberapa petani mengalami kerugian. Kata mereka, ini adalah takdir mereka.
Jumlah petani di kampung Maras mencapai 600 orang yang tergabung dalam 7 kelompok tani.
Debit Air Semakin Berkurang
Setiap tahunnya, debit air Wae Rajong semakin berkurang, bahkan sangat drastis. Para petani yang merasakan dampaknya begitu cemas.
Sebagian warga masih menggunakan air Wae Rajong untuk mencuci pakaian dan mandi.
Warga mengungkapkan bahwa walaupun musim hujan, air Wae Rajong tidak bertambah. Kalaupun bertambah, hanya saat hujan tiba, setelah itu kembali semula.
Warga mengatakan hal itu karena hutan sudah sudah gundul akibat penebangan liar.
Maraknya Penebangan Liar
Tepat di sebelah barat Kampung Maras itu adalah kawasan hutan yang sebelumnya adalah kebun warga. Pada tahun 2003, Pemerintah kabupaten Manggarai menetapkan wilayah yang luasnya hampir 300 an haktare itu menjadi kawasan hutan.
Namun, penetapan kawasan itu sebagai kawasan hutan tidak sejalan dengan program dan pengawasan.
Menurut warga, penebangan liar marak terjadi. Bahkan mata air Wae Rajong yaitu Ulu Hondem yang menurut warga kampung Maras dulunya tidak bisa dilalui oleh orang, sekarang sudah banyak warga dari kampung Mbohang yang masuk. Mereka [Warga kampung Mbohang] masuk ke wilayah hutan, mengambil alih wilayah hutan menjadi kebun jahe.