LABUAN BAJO, Komodoindonesiapost.com – Romo Roy: Misionaris Projo asal Labuan Bajo yang bertugas di Swiss
Pengantar redaksi
Adalah Romo Roy Jelahu, seorang Imam Projo kelahiran Labuan Bajo. Kini bertugas di Swiss. Kami memintanya untuk mensharingkan pengalamannya selama berada di Swiss. Bapaknya bernama Bernardus Jelahu, pensiunan PNS dari dinas PPO; sedangkan mamanya Bernama Adriana Hunam, seorang ibu rumah tangga. Wawancara dengan Romo, kami turunkan dua bagian.
Komodo Indonesia Post ( KIP): Apa kabar Romo. Senang kami bisa kontak Romo dan terima kasih banyak untuk kesediaan untuk kami jumpai, meskipun lewat media saja.
Romo Roy ( RR) : Terima kasih juga untuk kesempatan mensharingkan pelayanan di Swiss. Saya tidak membayangkan karena pelayanan ini dipercayakan Gereja keuskupan Ruteng kepada saya. Alasannya: saya imam Projo. Dan berkarya untuk keuskupan dimana saya diinkardinasi, dalam hal ini keukskupan Ruteng. Kedua: Kemampuan dan ketangguhan sebagai seorang Misionaris. Atas dasar pilihan sebagai imam Keuskupan Ruteng, saya tidak mempunyai persiapan lama untuk hidup dalam situasi dan kultur yang berbeda.
KIP : Romo Roy, kami baca di Facebook, Romo memberikan sharing di tanah Swiss. Apakah Romo Kerja di sana atau lagi studi di swiss.
RR : Terima kasih karena sudah membaca pengalaman refleksi di Faceboo baik lewat tulisan maupun Foto atau Video. Saya bekerja di sebuah Paroki Kathedarl di salah satu keuskupan di negara Swiss, yaitu keuskupan Basel. Nama Parokinya adalah St. Ursen dan St. Viktor. Paroki tempat saya bekerja ini, dikenal sebagai Kota budaya, dari Zaman Barock, di mana design bangunan rumah dan Gerejanya tetap mempertahankan nuansa abad pertengahan. Gereja Kathedral ini terletak di tengah kota, sebagai simbol dalam sejarah, bahwa Gereja Katolik memainkan peran yang sangat penting. Nama Kota ini sendiri adalah Solothurn.
Sejak Oktober 2020, saya bertugas sebagai seorang Vikar. Vikar itu dalam menjalankan tugas, secara konstitutif dalam Paroki, mengambil peran Pastor Paroki, jika pastor paroki berhalangan sementara atau tetap. Dan jika pastor paroki memberikan amanat untuk mengambil dan menjalankan tugas-tugas parokialnya. Dalam kapasitas kuasa tugas ini, seorang Vikar itu berbeda dengan Kapelan/Rekan.
KIP : Romo Roy bertugas di paroki. Bagaimana konsep pelayanan paroki di sana ?
Pertama: konsep pelayana parokial mereka agar khas. Saya bisa menyebutnya. Paroki adalah pusat pastoral untuk beberapa paroki yang menaunginya. Paroki utama merancang tugas-tugas pastoral di setiap paroki yang dikuasainya. Jadwal misa, pelayanan Sakramen, dan kegiatan harian paroki diatur bersama di Paroki Pusat. Meskipun demikian, tiap paroki itu tetap otonom. Dewan Paroki dan keuangan Paroki diatur pada masing-masing paroki.
Kedua: Pembagian tugas yang jelas. Setiap karya pastoral Paroki dikemudikan oleh orang yang secara khusus (sesuai kapasitas dan profesionalitasnya). Dia bertanggung jawab untuk menghendel dan merumuskan program-program, mengevaluasinya dan merancangnya. Misalnya: Imam bertanggung jawab penuh pada pelayanan Sakramen. Katekese dan pengajaran di sekolah dipercayakan kepada para Guru Agama Katolik. Ibadat non Sakramental atau tanpa Imam dijalankan oleh para Katekis (Teolog).
Lebih lanjut, sebelum saya mengambil fungsi dan tugas di Paroki, saya mengikuti Kursus Pastoral. Kursus berlangsung dua tahun, Juni 2021 hingga Juni 2023. Tentu ini pengalaman yang baru dan sekaligus menantang buat saya, karena faktor keterbatasan bahasa. Lebih tepatnya saya katakan kursus itu seperti mengikuti kuliah. Yang mengajar adalah para Dosen dari Universitas Luzern. Di akhir tahun kedua, kami juga harus menyelesaikan tugas dalam bentuk tulisan atau penelitian. Tapi melalui Kursus atau Diklat ini, saya justru lebih mendapatkan banyak hal positif. Melalui diskusi dengan para Teolog dan Katekis dalam kursus ini, saya pelan pelan mengenal gambaran kultur masyarakat dan Gereja di keuskupan Basel. Kemudian, melalui kursus ini pula, secara legal / aturan keukskupan, saya dapat memdampingi karya karya lain selain misa. Misalnya: pendampingan orang muda, pendampingan anak-anak Misdinar, karya Diakonia (bersama para Migran- ini saya lakukan bersama para Suster dan Imam Scalabrini), pendampingan pada orang-orang tua di Panti Jompo atau di Rumah, Konseling diluar sakramen pengakuan, pendamping untuk para Katekumen. Dalam tuntutan pelayanan-pelayanan ini, kursus ini menjadi penting, karena kami dibantu untuk memahami kebutuhan psikologi setiap orang atau kelompok orang. Dalam kursus ini misalnya, kami mengenal perkembangan psikologi anak, remaja dan orang tua.
KIP Bagaimana pertama kali romo datang ke sana apa kesulitan dan bagaimana situasi sekarang
RR: Kesulitan pertama adala Perbedaan Kultur dalam hal ini mencakup bahasa, cuaca, makan, serta «sikap, ekspresi, temperament» orang di sini, cukup menantang. Saya ingat, saya tiba diawal musim dingin. Itu tidak mudah untuk hidup dicuaca bersalju dan dibawah minus 3. Satu kali saja senang karena liat salju dan foto di tengah salju, setelah itu,hampir tidak lagi. Hahahahaa [ketawa]
* Kedua,yang tidak kalah sulit juga adalah bahasa. Di tempat saya bekerja, orang menggunakan bahasa Jerman. Sementara beberapa wilayah di swiss, mereka menggunakan juga bahasa Perancis, Italia dan Retoromanis (Latin). Untuk memperbaiki kemampuan bahasa ini, saya melanjutkan kursus bahasa Jerman di Solothurn. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah: komunikasi harian dengan setiap orang. Di komunitas pendampingan saya, saya menyampaikan harapan saya agar mereka membantu perkembangan bahasa Jerman. Pastor Paroki dan semua rekan-rekan kerja di kantor sangat membantu untuk tujuan tersebut.
*. Ketiga, Kultur dalam Gereja. Mereka menyebutnya Dual Sistem. Perjalanan Gereja diatur bersama oleh Dewan Paroki dan Keuskupan, dalam hal ini imam. Setiap Depertement( atau dalam Bahasa keuskupan di Indonesia, disebut komisi ) dalam Gereja memiliki kuasa yang diatur oleh hukum Gereja. Demikian pula tugas mereka. Ada Dewan Keuangan, Dewan Paroki, dll..yang semuanya menjalankan tugas dan menentukan arah perjalanan Gereja. Imam di sini tidak mengurus uang, itu contoh yang paling utama. Imam menjadi bagian (juga-tidak wajib) dalam pelaksanaan tugas Dewan. Imam bertanggung penuh hanya pada keberlangsungan sakramen.
*Keempat .Teolog dan Katekis bisa berkotbah. Ini diperbolehkan di keukspan Basel. Kesetaraan tugas dan tanggung jawab sangat ditekankan. Maka katekis yang perempuan juga, dapat berkotbah di dalam misa. Saya sebagai seorang imam harus bisa berkotbah seperti mereka.
* Keempat, Tipikal orang Solothurn. Pergaulan antara masyarakat lokal dengan orang asing membutuhkan waktu. Orang Eropa lainnya, seperti orang Italia, Kroatia, Portugal, juga mengalami hal yang sama. Maka penting untuk orang asing adalah penyesuaian dan pengenalan budaya orng swiss. Itu berkaitan dengan: misalnya ketepatan waktu, membuat janji untuk setiap kegiatan (menghindari yang bersifat spontan), memberikan kepastian atas sebuah rencana, kemampuan untuk menerima dan memberikan Kritik). Saya merasa, ketika orang asing sudah bisa berintegrasi dengan budaya orang Swiss, perkenalan itu tidak akan mudah diputuskan. Membangun kepercayaan, bisa saya formulasikan, sebagia hal yang penting dalam proses integasi budaya.
*selama berjalannya waktu berkarya di tahun yang ke-3 ini, kepercayaan dari umat itu sudah saya miliki. Saya bersyukur bahwa bisa mengambil bagian dalam pengalaman khusus ini.
Penulis : Tim Redaksi