LABUAN BAJO, Komodoindonesiapost.com – Nama Haji Ramang Ishaka disebut saksi dalam persidangan kasus tanah karangan yang berlokasi di Batu Gosok, kelurahan Labuan Bajo kecamatan Komodo kabupaten Manggarai Barat NTT.
Sidang yang digelar pada Rabu, 12 Juni 2024 di Pengadilan Negeri Manggarai Barat dengan agenda menghadirkan saksi.
Dalam keterangannya, saksi Wihelmus Warung menyinggung nama Haji Ramang Ishaka. Ramabg Ishaka ada disebut sebut memangku jabatan sebagai fungsionaris adat Ulayat Nggorang yang meskipun bagi banyak orang masih mempertanyakan jabatan tersebut. Pasalnya, jabatan “Dalu” itu sudah tidak berlaku lagi saat ini.
Penyebutan nama Haji Ramang Ishaka ini oleh Wihelmus saat ia dihadirkan oleh Muhamad Rudi selaku ahli waris Alm. Ibrahim Hanta sebagai pihak penggugat melawan Niko Naput.
Dalam keterangannya, Wihelmus membeberkan sejumlah fakta yang mengejutkan. Bahkan dugaannya membuka tabir kegelapan ihwal adanya konspirasi kejahatan dalam membuat dokumen dan warkah tanah yang sekarang sudah dijual kepada Hotel San Regis.
Di depan Majelis Hakim, Wihelmus bersaksi bahwa sesungguhnya ada surat pembatalan yang telah diterbitkan oleh Haji Ishaka atau ayah dari Haji Ramang Ishaka pada tahun 1998.
Surat pembatalan itu terkait dengan dokumen kepemilikan tanah atas nama tiga orang masing masing Niko Naput seluas 10. Ha, Betrik Seran seluas 5 Ha, dan Nasar Subu seluas 16 Ha.
Wihelmus saat diwawancara Komodoindonesiapost.com pada Jumat, 14 Juni 2024 menjelaskan bahwa saat dirinya memberikan keterangan pada saat persidangan di PN Mangggarai Barat yang digelar pada Rabu, 12 Juni 2024 dirinya mengungkap bahwa awal mulanya memang tana itu sempat dibuatkan dokumen berupa surat kepemilikan oleh Niko Naput, Betrik Seran, dan Nasar Subu. Namun, kemudian dokumen itu dibatalkan oleh Ishaka ayah dari Haji Ramang Ishaka pada tahun 1998.
Pembatalan itu dilakukan setelah diketahui bahwa lokasi itu ternyata telah diserahkan kepada Yayasan Manggarai milik Pemerintah Manggarai pada saat itu untuk mendirikan sekolah.
Saat itu, kata dia, Haji Rama Ishaka masih berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di Taman Nasional Komodo. Kata Dia, Ramang tidak tahu menahu soal penataan tanah pada saat itu.
“Fakta sidang kemarin di pengadilan negeri labuan bajo saya sebagai saksi dari penggugat . Hakim menanyai saya terkait dengan tau atau tidak soal tanah itu. Jujur, saya sampaikan kepada hakim bahwa tanah itu saya tahu. Karena tanah itu juga saya pernah Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 2000. Karena saya mau menanam jagung di situ. Makanya saya Kapu Manuk-Lele Tuak kepada Haji Ishaka pada tahun 2000,” katanya.
Wihelmus Warung menjelaskan pada saat dirinya meminta lahan kepada Haji Ishaka, selaku fungsionaris adat, Ishaka tidak bisa memenuhi permintaan Wihelmus. Pasalnya, tanah tersebut posisinya tumpang tindih antara Nazar Subu dengan Ibrahim Hanta.
“Makanya Ishaka bilang, saya sudah batalkan tanah atas nama Nazar Subu yang seluas 16 Hektar dua tahun lalu, yaitu Ishaka membatalkan tanah Nazar Subu itu pada tahun 1998, dua tahun sebelum saya minta tanah ini,” jelasnya.
“Kemudian saya tanya, bagaimana yang lainnya, “begini di tanah Nazar Subu yang 16 hektar itu, 11 hektar lebihnya itu milik Ibrahim Hanta berdasarkan Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 1973,” lanjut ujarnya.
Selebihnya, katanya, di sebelah selatan itu sudah menjadi milik yayasan Pemda Manggarai.
“Sehingga kalau ade paksa untuk mendapatkan posisi di situ, sesungguhnya 16 hektar milik Nazar Subu sudah tidak ada tanah di situ. Karena yang memiliki sebelum dia ada Ibrahim Hanta sebanyak 11 hektar lebih. Kemudian untuk yayasan Pemda Manggarai ada 4 hektar lebih di sebelah selatannya itu. Sehingga, niat saya untuk mendapatkan tanah itu tidak bisa di situ pada tahun 2000. Tetapi tetap saya maju terus, bagaimana saja caranya pak Haji bagaimana saya mendapatkan tanah itu,” beber Wihelmus.
“Begini dia (Ishaka) bilang, kalau kau paksa disini tidak bisa. Saya buktikan bahwa ini suratnya. Surat ini, surat Nasar Subu ini. 16 hektar lebih ini dan ini surat pembatalan yang saya buat dua tahun 1998” tambahnya.
Wihelmus Warung menegaskan, Haji Ishaka menunjukan surat milik Nasar Subu 16 hektar itu. “Dia [Haji Ishaka] tunjuk surat pembatalan kepemilikan itu,” ujarnya.
Kata Wihelmus, dia telah mengantongi dua surat pembatalan penyerahan tanah tahun 1990 dan 1991 tersebut.
“[Kata Haji Ishaka] Begini sudah kau kenal Haji Djuje. Terus saya bilang kenal baik dengan Haji Djuje.
[Kata Haji Ishaka] Kebetulan Haji Djuje itu adalah ia penata tanah atas dasar kuasa saya,” terang ujarnya.
Kepada Haji Ishaka, Wihelmus mempertanyakan keyakinannya akan Haji Djuje.
“[Haji Ishaka] Jadi begini, saya kasih kopiannya saja surat kuasa saya kepada Djuje untuk menata tanah 16 lengkong termasuk titik tanah Krangang yang sekarang sedang bersengketa itu dia tunjuk. Termasuk tanah yang tumpang tindih ini. Makanya Haji Ishaka pada 2000 itu dia juga serahkan surat kuasa penataan tanah ke Haji Djuje yaitu pada tahun 1996,” jelas Yohanes.
“Sehingga saya pegang dua kopian waktu itu, waktu saya pulang. Satu adalah surat pembatalan terkait tanah Nasar Subu itu yang 1998 itu, kemudian ada juga surat pembatalan atas nama Beatriks Seran, atas nama Niko Naput. Niko Naput, disitu dia bilang ada 10 hektar dibatalkan, Betariks Seran ada 5 hektar dibatalkan, Nasar Subu 16 hektar dibatalkan,” lanjutnya.
Dia menambahkan, setelah bertemu Haji Ishaka, ia kemudian bertemu Haji Djuje untuk minta tanah.
“Saya kemudian ketemu bapak Haji Djuje. Bapak Saya minta tanah, saya amanat dari pak Haji Ishaka. Kapu Manuk Lele Tuak saya sudah dia terima, tetapi saya minta tanah itu di Keranga. Tapi dia bilang tanah itu sudah ada yang punya,” bebernya.
“Akhirnya permintaan saya di depan Haji Djuje itu dikabulkan. Dan Haji Djuje disposisikan saya tanah pada tahun itu di Goso Ngia. Sehingga saya dapatkan tanah-tanah itu di Goso Ngia, termasuk teman-teman saya banyak dapat tanah disitu, ada Pak Ferry Adu, ada pak Jhon Pasir, pokoknya banyak. Sehingga bentuk respons balik dari Adat Nggorang, bentuk peduli atas dasar permintaan saya saat itu,” terangnya.
Wihelmus menambahkan bahwa pada tahun 2000 Haji Ramang itu masih PNS aktif di Taman Nasional Komodo. “Sehingga kuasa membagi tanah itu tidak mungkin jatuh ke anak kandungnya ke Haji Ishaka. Dan tanah-tanah itu sudah dikuasakan semua,” jelasnya.
“Saya pernah terlibat diskusi, contohnya pada waktu itu yang libatkan itu anggotanya Djuje, ada namanya Kanis Hanu, ada namanya Ismail Ele, ada namanya Usman Umar. Usman Umar itu satu-satunya yang masih hidup. Tapi Ramangkan tidak bisa, diakan masih PNS,” ujarnya.
Kata Wihelmus, Haji Ramang tidak turun ke lapangan. “Dia itu (haji Ramang) tidak turun lapangan. Yang tata tanah itu orang yang sudah dia Kuasakan. Termasuk Haji Djuje itu 16 titik, 16 Lingko,” lanjutnya.
“Menurut saya, sebaiknya Haji Ramang itu jangan menjadi dasar pemicu konflik tanah. Itu saran saya sebagai warga di Kota Labuan Bajo. Karena tanah itu sudah ditata semua. Dan ada semua penatanya. Ramang itu tidak pernah menata. Dan sudah ada pemiliknya semua. Tidak berhak lagi, apalagi mengeluarkan surat pengukuhan kepada orang. Kemudian ada juga saya pernah nonton pada tahun 2013 lalu, untuk tidak ada kepentingan konflik tanah di Labuan Bajo ini sebaiknya, turunan-turunan adat di Labuan Bajo ini bersatu untuk ditanya, kemudian harus keluar statement dalam bentuk berita acara resmi. Termasuk haji Ramang waktu itu. Saya nonton sendiri waktu itu. Ada haji Ramang, kemudian ada Haji Umar, ada semua anak-anaknya. Kemudian ada juga saksi-saksi, ada pak Anton Said, ada Anton Antam, ada Frans Ndejeng, ada Pak Feri Adu, Theo Urus dari Lancang, Tua-tua Golo-tua Golo semua, ada Niko Nali,” beber Wihelmus.
Kata Wihelmus, Haji Ramang tidak punya hak lagi untuk menata kembali tanah tanah yang sudah ditata.
“Termasuk saya. Saya saya tidak berhak tanda tangan karena saya bukan tua golo. Waktu itu sudah sepakat, bahwa dia [Ramang] tidak boleh menata kembali tanah-tanah yang sudah ditata. Karena tidak ada lagi tanah yang belum ditata. Sudah habis ditata semua. Ramang, disarankan semua fungsionaris adat dikuatkan kembali apa yang pernah ditata kewenangan dari Bapaknya sendiri. Dan orang-orang yang dipercaya itu tidak boleh diganggu gugat lagi,” jelas Wihelmus
Kata dia, Haji Ramang dianggap melanggar adat dan tidak mengerti dengan adat.
Secara terpisah Haji Ramang Ishaka menolak untuk diwawancarai terkait sengketa tanah antara Niko Naput melawan Ibrahim Hanta. “Saya tidak mau diwawanca ya,” ujarnya saat dhubungi melalui panggilan WhatsApp pada Jumat, 14 Juni 2024.
Penulis : Tim Komodo Indonesia Post