LABUAN BAJO, Komodoindonesiapost.com – Praktisi Hukum bongkar potensi dugaan korupsi dalam praktek manipulasi pengalihan objek pajak tanah yang sedang berpolemik di Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Flores – NTT.
Muhamad Tony salah satu praktisi hukum di Labuan Bajo yang peduli dengan masalah NJOP di Labuan Bajo membongkar dugaan praktek KKN dalam mengurus dokumen tanah untuk balik nama sertifikat dari pihak penjual kepada pihak pembeli.
Modus yang digunakan dengan mengeluarkan surat keterangan beda lokasi. Padahal pada objek tersebut sudah diatur zonaisasi NJOP nya. Namun, karena ada dugaan kepentingan investor ataupun kepentingan pribadi maka dibuatlah surat keterangan seolah olah beda lokasi.
“Misalnya pada objek yang sama si pemohon masyarakat ini mengajukan permohonan. Lalu bayarlah BPHTB pasca penerbitan sertifikat. Disitukan sudah sesuai dengan objek yang dimohonkan,” ujarnya.
“Misalnya yang dimohonkan itu linko (dataran) A dia (pemohon) bayar BPHTB karena kewajiban dari si penerima hak. Lalu pada waktu yang sama ada proses peralihan. Nah disini yang berpotensi. Oleh karena nilainya cukup tinggi investor ini bilang ini bagaimana ini bisa tidak dirubah . Sehingga atas dasar itu ada petunjuk misalnya melalui seorang kades bisa meruba lokasi itu tadi. Maka disitulah yang saya bilang korupsinya berpotensi disitu. Perubahan itu dibuat dalam bentuk surat keterangan sehingga nilai obje pajak itu bisa signifikan bahkan lebih dari 100%,” ujarnya.
Pada kasus Batu Cermin, Kepala Desa dengan berani mengeluarkan surat keterangan pengalihan objek pajak tanah milik Oktavianus Sawusa Darma yang berlokasi di Pasir Panjang dirubah menjadi Wae Rea dengam nilai NJOP yang sangat jauh sebagimana dalam laporan media ini sebelummya.
Marianus Yono Jehanu diduga melakukan manipulasi berupa pemindahan objek pajak pada satu bidang tanah milik Oktavianus Sawusa Darma di Pasir Panjang, Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo.
Darma menjelaskan bahwa NJOP untuk zonasi Pasir panjang sangat tinggi ketimbang zonasi pajak di Wae Rea.
Untuk NJOP BB/m² untuk tanah pada zonasi Pasir Panjang itu 1.573.000. Oktavianus Sawusa Darma harus membayar BPHTB sebesar 186. 467.850.
Awalnya Oktavianus tidak mempersoalkan NJOP yang sangat melambung tinggi pada zonasi tanah di Pasir Panjang
Sementara untuk lokasi Wae Rea NJOP hanya 537.000.
Pengalihan objek pajak ini menurut Muhamad Tony bisa berpotensi korupsi.
“Misalnya dari BPHTB awal senilai 200 juta. Oleh karena terbitkan surat sepenggal surat keterangan seperti yang saya bilang itu maka bisa saja nilainya itu bisa sampai 50 juta. Itu yang saya bilang bisa berpotensi. Daya tekan tahan bisa aja disitu. Kalau investor merasa dirugikan bisa aja dia lobi,” ujarnya.
Muhamad Tony mempertanyakan sikap Kepala Desa yang melampau perbup dengan mengeluarkan surat keterangan pengalihan objek pajak
“Pertanyaan hukum kemudian Apakah seorang Kepala Desa itu punya kewenangan untuk merubah penetapan Zonaisasi yang sudah ditetapkan melalui Perbup tadi,” ujarnya.
“Lalu kemudian dia dengan kewenangan dia yang kita ketahui keterbatasannya mengeluarkan surat keterangannya yang terkesan kekeliruan. Sehingga nanti kepala desa itu bisa dipake oleh subjek hukum untuk merubah nilai daripada objek pajak itu sendiri. Sehingga ketika ini terjadi maka itu berpotensi ada kepentingan pribadi Pak Kades. Kepentingan pribadi dalam tanda kutip investor. Yang dirugikan siapa ya masyarakat yang tidak tahu gitu,” ujarnya.
Menurut Muhamad Tony, aparat penegak hukum bisa saja menangani kasus ini dengan menjadikan surat keterangan Kades sebagai objek perkaranya.
“Lalau dasar dari keputusan itu atau surat keterangan itu maka bisa saja itu menjadi objek perkaranya. Itu menjadi temuan. Karena sebab dari surat keterangan itu ditindak lanjuti oleh Dispendakan. Karena dia mengabaikan perbup itu. Padahal diperbup itukan sudah jelas zonaisasinya. Itukan dikesampingankan jadinya. Yang dipakai adalah padahal diobjek yang sama terkecuali kalau itu sedari awal sehingga tidak ada yang dirugikan,” ujarnya.
Pada kasus dugaan pengalihan objek pajak di Batu Cermin oleh Kepala Desa itu dinilai bisa berpotensi (dugaan) korupsi yang merugikan negara. Menurut Tony Kepala Desa melampau Perbup. Tony juga mengkritisi perbup 201 dan 269 tahun 2022 yang lahir karena tidak ada kepastian hukummya. Karena itu, dengan muda orang atau kepala desa mengeluarkan surat keterangan berupa beda lokasi untuk menghindari pajak tinggi.
“Dari awal kita udah keritisi karena dari awal tidak ada kepastian hukumnya. Belum ada juga perda terkait zonaisasi. Kenapa dari awal kita keritisi karena ketika Perbup 201 tahun 2022 dan perbup perubahan 269 tahun 2022 ini tetap diberlakukan sebelum ada zonaisasi ya maka itu akan berpotensi dalam tanda kutip ada nepotisme disitu ada KKN disitu,” ujarnya.
“Nah ketika itu terjadi (pengalihan objek pajak) maka akan berdampak pada kerugian baik kepada subyek hukum itu sendiri maupun kerugian keuangan negara.
Misalnya begini didalam Perbup 201 itukan ditentukan zona A Zona B tapi faktanya dilapangan ada perbedaan nama lokasi.
Yang terjadi adalah ada negosiasi penyusaian lokasi yang terkesan yang kita temui dilapangan itu, seorang oknum Kepala Desa dia bisa melampaui kewenangan dari Perbup 201 misalnya mengeluarkan surat keterangan lokasi misalnya ditinjau kembali. Padahalkan diperbup itukan sudah menentukan (zonaisasi NJOP),” ujarnya.
Penulis : Tim Komodo Indonesia Post