Dalam kesempatan yang sama, Karlo mengungkapkan bahwa, ia merupakan salah satu korban penganiayaan aparat dalam aksi penolakan geothermal di Poco Leok pada 2 oktober lalu.
Karlo menjelaskan awal mula kejadiannya, Karlo hanya mau menyampaiakn soal fungsi dan tugas dari aparat keamanan.
“Pada saat itu, mereka [aparat] mendorong saya hingga saya jatuh, dan saat itu juga, saya bangun, mereka tarik tangan saya, lalu mereka dorong saya sambil pukul dan akhirnya saya jatuh. Dan pukulan pihak aparat waktu itu di bagian dada, dan memang saya lihat berseragam aparat.
Ketika saya jatuh, saya bangun kembali dalam keadaan tidak berdiri tegak, dan mereka dorong lagi, dan terlempar ke arah seorang tentara, lalu mereka pukul pakai lutut di bagian kepala, dan ini bekas lukanya.
Akhirnya saya sampai jatuh, setelah itu mereka tarik kembali dan dorong ke mobil,” jelas Karlo.
Karlo menegaskan keterlibatan aparat, TNI Polri dan Pol PP dalam aksi penangkapan tersebut.
“Kira-kira seperti apa keterlibatan aparat ini dalam situasi pada 2 Oktober itu? Saya melihat, mereka memprioritaskan untuk meloloskan agenda pihak PLN dan pemerintah, tetapi tidak melihat bahwa mereka tidak mendengarkan aspirasi masyarakat,” ungkapnya.
Karlo meminta agar tidak ada lagi kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepada warga Poco Leok. Serta meminta pemerintah untuk tidak melanjutkan proyek pengembangan PLTU Ulumbu di Poco Leok.
Sementara itu, kuasa hukum tim Floresa, Yulianus Ario Jempau mengatakan apa yang dialami oleh Pemred Floresa adalah pelanggaran pidana serius.
Kata Ario, ada beberapa poin kekerasan yang dialami oleh Herry Kabut, Pemred Floresa itu, diantaranya kekerasan fisisk, perampasan alat kerja, pemeriksaan dokumen, intimidasi, dihardik.
“UU Pers 18 ayat 1, siapapun yang menghalangi, ini kita lihat sebagai upaya terencana dan serius menghalangi kerja kerja jurnalistik,” tegasnya.
“Kita menganut negara demokrasi yang mengedepankan memberikan ruang pada pers sebagai perwakilan masyarakat untuk mengontrol kerja pemerintah, aparat keamanan, kepolisian, supaya tidak melanggara hak-hak warga. Kerja wartawan dalam situasi apapun harus dilindungi.
Wartawan FLoresa ini mengalami intimidasi, dicap provokator, dituding secara langsung oleh aparat bahwa ditangkap karena menulis miring tentang geotermal, bahkan salah satunya menyatakan Sdr Herry ini dipantau karena menulis miring,” bebernya.
Sampai saat ini, kata Ario, pihaknya sudah mengumpulkan banyak bukti, rekam medik, dan lain lain, untuk mengambil langkah penting supaya kekerasan terhadap jurnalis tidak terjadi lagi.
“Kita tidak akan diam, kita akan mengambil langkah, ada kuasa hukum , ada KKJ, ada Dewan Pers dan jejaring yang sampai kini sangat serius mengusut kasus ini. Saya pikir ini penting untuk kita perhatikan bersama, supaya kekerasan terhadap jurnalis cukup berhenti sampai di sini,” tegas Ario.
“Jurnalis adalah kawan kita, dengan kerja jurnalisme, hak kita di negara demokrasi menjadi dilindungi,” tutupnya.
Ferdinansa Jufanlo Buba yang juga menjadi kuasa hukum tim Floresa mengatakan
PSN Geotermal Poco Leok menarik atensi berbagai pihak, karena melibatkan berbagai elemen mulai dari pemerintah, perusahaan, PLN , aparat keamanan TNI Polri, Bank Jerman KfW.
“Kekerasan yang terjadi di Poco Leok menjadi tanda bahwa ada pelanggaran HAM oleh negara,” tegas Jufan.
Untuk itu, pihaknya menghimbau negara untuk menperhatikan upaya mengkomunikasikan kebijakan Proyek stratgeis nasional.
“Menurut kami, dalam PSN yang melibatkan masyarakt adat sebagai korban kekerasan, kasus ini yang terdokumentasikan dengan cukup baik, mulai dari foto dan video. Kami memastikan kekerasan ini akan kami tindaklanjuti dengna upaya hukum apapun.
Kejadian ini tidak hanya meliatkan Karlo dan Gusti, tetapi juga masih banyak korban lain dari warga yang sedang kami kumulkan keterangan dan buktinya, yang menjadi petunjuk bahwa memang benar ada kekerasan di Poco Leok,” ungkapnya.
Jufan menambahkan dalam waktu dekat pihaknya akan mengadukan, melaprokan dan tindakan hukum lainnya.
“Kami juga menentang rilis yang dilakukan Kapolres Mangarai terkait fakta lapangan.
Kami menyesalkan Kapolres yang hanya mengecek informasi melalui bawahannya, atau anggotanya yang bertugas di lapangan, tanpa memvalidasi data itu langsung kepada masyarakat,” pungkasnya.
Jufan menegaskan tugas kepolisian seharusnya menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat, bukann hanya saat insiden terjadi.
“Sampai saat ini kami dan warga tidak pernah mendapat komunikasi lanjutan dari kepolisian.
Kami akan mengusut tuntas dan mengumpulkan bukti-bukti.
Kami sangat menyayangkan bahwa korban di Poco Leok bukan hanya yang secara langsung, tetapi juga banyak kaum perempuan. Mereka [warga Poco Leok] mengalami tekanan dan penindasan.
Kami berharap pemerintah ketika kembali melakukan tahapan PSN di Pico Leok, kami minta komunikasi pemerintah dan perusahaan mengutamakan hal-hal yang sifatnya damai, ujarnya.
Penulis : Ven Darung
Halaman : 1 2