“Kami [diperlakukan] tidak ada manusiawinya, sepihak dan karena [kampung ujung] sudah mulai bagus, [kami] gampang disisihkan,” ujar Bernadeta, sedih.
Sementara itu, Kadis Ney menjelaskan bahwa kontribusi Rp. 2.5 juta untuk yang sharing booth [1 booth berdua] 5 juta untuk yang 1 booth.
Hal itu kata Ney, karena bantuan Bank Indonesia [BI] hanya bisa untuk sediakan 20 booth, sementara yang dbutuhkan 40 booth.
“Jadi uang yang dikumpulkan bukan untuk dinas atau Pemda, tetapi untuk pengadaan booth yang mereka tempati, setengahnya kami akses dari sumbangan atau bantuan Bank Indonesia,” kata Ney Asmon.
Bank Indonesia juga, kata Ney telah menyumbang kursi dan meja.
Sewa Lostrom selama se-tahun
Selama satu tahun [tahun 2023], pelaku usaha kuliner kampung ujung mengaku membayar biaya lostrom.
Tiap minggunya, pelaku usaha harus mengeluarkan uang Rp. 240 ribu untuk membayar tagihan listri [lostrom]. Hal itu dilakukan selama satu tahun.
“Kami tidak tahu [bayar] ke PLN apa ke Dinas, dan kami tidak tahu apakah meteran itu baru dipasang atau sudah lama, binggung, masyarakat kecil di bodohi,” pungkas Bernadeta.
Lebih lanjut, Bernadeta menjelaskan bahwa sejak ia sudah lama berjualan di kampung ujung, meteran juga menurut dia sudah ada sejak lama.
“Karena begini ya kuliner kampung ujung itu sudah ada sejak lama dan kami ini masih pelaku lama, listrik dulu sudah ada tapi kenapa yang sekarang tidak ada meteran,” lanjutnya.
Bernadeta juga mempertanyakan apakah meteran yang lama itu di cabut.
Soal bayar lostrom, Kadis Ney menjelaskan bahwa Pemda pada saat itu, belum cukup pembiayaan ke PLN untuk istalasi meteran di kuliner kampung ujung.
“Atas kesepakatan dengan [pelaku usaha] kuliner supaya mereka bisa jualan mereka mau untuk losstrom,” kata Ney saat dikonfirmasi Komodo Indonesia Post. Kamis, [16/5].
Kata Ney, pihaknya hanya membatu mengarahkan ke PT PLN.
Pelaku kuliner sendiri yang membayar, kami hanya bersurat ke PLN untuk membatu dengan mekanisme PLN untuk bantu UMKM,” jelasnya.
“Jadi Tidak ada penunjukan PT atau apapun dari Dinas,” tegas Ney.
Selain mengarahkan para pelaku usaha ke PT. PLN, Dinas Nakertranskopukm juga mengajukan air ke PDAM yang dibayar pelaku usaha sendiri.
“Pelaku semua sudah tahu bagaimana semua proses bahwa dinas belum diberikan anggaran khusus untuk fasilitasi fasilitas tersebut karena penyerahan [kuliner] kampung ujung belum sepenuhnya ke Pemda dari Pempus. Masih penyerahaan pengelolaan sementara jadi belum bisa dipihak ketigakan pengelolaan kuliner, beber Kadis Ney.
Lanjut Ney, Kalau sudah dikelola pihak ketiga, ceritanya akan beda lagi. “Profit oriented pasti. Saat ini sementara di bawah dinas pengelolaan masih sifatnya pemberdayaan UMKM,” lanjutnya.
“Kami Dinas dengan segala upaya yang disepakati bersama pelaku usaha, mulai dan jalani tidak tunggu semua siap karena uang dan peluang tetap jalan,” pungkasnya.
Pelaku usaha dinilai tidak jujur bayar pajak
Siprianus Mbembo, sekretaris Bapenda Manggarai Barat saat ditemui Komodo Indonesia Post di ruang kerjanya, Selasa, [7/5] siang menjelaskan dari sekian pelaku usaha di kampung ujung, ada pelaku usaha yang melaporkan dan membayar pajaknya. Namun ada juga yang tidak melapor dan membayar pajak.
Upaya yang dilakukan oleh Bapenda selaku OPD terkait, yang menangani pendapatan daerah adalah dengan melakukan monitoring. Namun hal itu, jelas Sipri tidak dilakukan setiap saat.
“Karena keterbatasan tenaga yang kita miliki. Namun kita tetap melakukan monitoring kepada wajib pajak yang lalai membayar pajak. Dari hasil monitoring itu, kita akan mengambil langkah, bisa dengan sanksi administrasi berupa denda,” jelas Sipri.
Namun, karena masih dalam proses di bidang penagihan, Sipri tidak merinci data wajib pajak di kampung ujung Labuan Bajo itu.
“Ada 46 wajib pajak di wisata kuliner kampung, dari 46 itu ada yang variasi. Ada yang taat melaporkan, ada pula yang tidak melaporkan sampai tidak membayar,” jelas Mbembo.
Sekretaris Bapenda itu juga menuturkan bahwa pajak makan dan minum yang masuk dalam kategori PPJT yang sifatnya self assessment. Wajib pajak menghitung dan melaporkan dan membayar sendiri besaran pajak.
“Jadi, karena kurangnya pengawasan kami [Bapenda] selama ini, rata rata pemasukannya jauh di bawah. Kisaran seratusan tiap bulan,” ujarnya.
Namun kata Mbembo, angka itu sangat tidak masuk akal. ” Jika dibandingkan dengan tamu yang berkunjung ke sana, itu kan lumayan. Tapi itu tadi, laporannya hanya segitu,” lanjutnya.
Dia menambahkan, pihaknya membutuhkan waktu untuk memantau hal itu.
Penulis : Ven Darung
Halaman : 1 2